Kumpulan cerpen vavorit Gue

Burung Kedasih

wahmuji's picture
Oleh kawan wahmuji, Selasa 22-06-10 02:01

Mentari terik di atas kepalaku, tapi aku masih harus berjalan dua puluh kilo meter ke arah utara. Lewati bekas belukar, rimba, beberapa sungai dan bebukitan. Ada yang mengganjal sesak selama tujuh puluh purnama penuhi dada ini, dan sebentar lagi akan pecah terburai, setidaknya itu pikirku kala harus alihkan rasa rindu yang kian melilit dan menyimpul di nadiku. Ya, kerinduan yang terperangkap dalam labirin ingatanku ini tak beberapa lama lagi akan kubuncah-ruah dengan secangkir kopi hangat bersama orangtuaku di beranda rumah panggung kami.
Sampailah aku pada dataran berpasir yang sering disebut pasiran. Kala aku kecil tempat ini cukup terkenal, sering dibicarakan orang dan banyak digilai laki-laki namun dibenci para istri. Di sini ada sebuah warung yang besar dan ditempati para pelacur. Yang tak kalah gemparnya atas kabar yang tersiar dari tempat ini, ketika suatu malam kawanan gajah dari hutan di sebelah timur mengobrak-abrik tempat ini hingga sporadis. Beberapa pelacur terluka. Masyarakat di sekitar kami mempercayai bahwa gajah adalah penjaga semesta, dan bila dia sudah keluar dari hutan dan mengamuk berarti ada yang salah dengan perbuatan kami. Setelah tragedi itu para pelacur pergi entah kemana. Dan sejak itu tempat ini menjadi tempat yang ditakuti karena sering dijagai oleh kawanan gajah.
Mentari meredup bersama gerimis yang lembut. Sampailah aku di sebuah lembah, di sana ada beberapa orang yang sedang istirahat mengumpulkan tenaga untuk lewati tanjakan yang melingkari bukit di depan kami. Wajah-wajah mereka terlihat sayu dan pucat seperti mayat. Mungkin saja karena kelelahan, pikirku.
“Mau naik juga, pak?” tanyaku untuk menyebut daerah di sekitarku pada salah satu orang dari mereka.
Tak ada sapa atau senyum segurat pun yang memberi isyarat jawaban pertanyaanku. Sepertinya mereka terlalu larut dalam kelelahan sehingga tak perlu sapa atau percakapan. Karena tdak ada respon dari mereka, aku berjalan mendekati parit kecil untuk meminum beberapa teguk air dari pancuran bambu yang ada di tepi lembah itu. Sebelum keringat habis kuputuskan untuk meneruskan perjalanan. Baru seperempat dari jauhnya tanjakan itu aku sudah kelelahan dan menepi dari jalan untuk mengirup udara dalam beberapa tarik nafas. Orang-orang yang tadi kutinggal di lembah sudah dapat menyusulku. Mereka berjalan zig-zag pada bidang jalan yang lebarnya kira-kira empat kepas tangan orang dewasa untuk memotong keterjalanannya sambil mendendangkan lagu-lagu yang iramanya aneh! Mereka mendahuluiku dan aku mengikuti mereka dari belakang. Langkah yang konstan dengan barisan zig-zag dan senandung lagu aneh bernuansa mistis melenyapkan rasa lelahku. Mencapai pertengahan tanjakan senandung tadi berganti tangisan lirih namun tak lepas dari telingaku, semakin lama kian dekat. Sambil tetap berjalan aku mengamati asal muasal tangisan itu. Rupanya tangisan itu berawal dari orang yang berada di paling depan barisan dan diikuti oleh orang-orang di belakangnya sampai pada orang yang berada di depanku. Dalam hati aku bertanya apa yang mereka tangisi. Untuk bertanya pada orang di depanku tak mungkin karena mereka tetap berjalan dan dari lembah tadi mereka tidak saling sapa begitu pun kepadaku.
Suasana itu semakin membuatku ingin tahu apa yang membuat mereka menangis. Kuputuskan untuk mendekat dan bertanya dengan orang di depanku. Baru saja aku mau mempercepat jalanku tiba-tiba aku teringat seorang kakek berdarah biru dari Kerajaan Kenali, kerajaan tertua di lampung yang pernah menceritakan asal mula dinamainya sebuah bukit yang sedang aku lalui ini. Banyak sekali legenda yang diceritakan oleh kakek yang bernama Aul. Hampir setiap menjelang petang, kakek Aul selalu bertandang ke rumah kami dan biasanya dia menceritakan asal muasal nama tempat seperti bukit, gunung, lembah, dan danau. Salah satu cerita yang masih kuingat adalah nama bukit yang sedang kulalui ini. Bukit ini bernama Miwang. Dalam bahasa lampung, miwang berarti tangis atau menangis. Nama itu diberikan pada bukit ini karena konon setiap orang yang melewati bukit ini selalu menangis oleh jalan yang terjal dan tanjakan yang sangat panjang. Ini kali pertama aku melihat langsung orang yang menangis melewati bukit ini. Tadinya aku menganggap cerita kakek Aul hanya dongeng karena tak pernah ada orang menangis atau melihat orang menangis ketika melewati bukit ini. Anehnya masyarakat di sekitarku sepakat dengan nama itu. Kini cerita itu kulihat sendiri, seperti menegaskan bahwa cerita itu memang ada dan bukan dongeng.
Tangis itu belum berhenti dan kabut yang mulai turun semakin naik. Kami semakin masuk dalam kabut tebal yang menyerupai dinding-dinding kapas putih dingin dan lembut hingga jarak pandangku hanya beberapa langkah saja. Semakin lama berjalan hawa dingin semakin menyerangku, perlahan-lahan hingga langkahku mulai pelan dan aku sudah tidak dapat melihat orang-orang yang tadi di depanku. Badanku semakin menggigil kedinginan dan kakiku sulit untuk dilangkahkan. Kabut bertambah tebal seolah dinding kapas putih yang dingin dan lembut itu tak pernah habis. Meski kulalui, dia semakin menyergapku, membalut, dan semakin erat melilitku hingga organ tubuhku sulit digerakkan! Mataku membelalak tapi hanya bisa melihat putihnya kabut saja. Kurasakan tubuhku sudah membeku dan tiba-tiba pecah jadi tangis keras sekali hingga kabut yang menyelimutiku tadi berdenyar beberapa langkah dari tubuhku. Namun, badanku tetap dingin seperti es dan tangisku melirih tapi tak sebutir pun air mata mengalir dari sudut muara mataku. Aku tetap menangis lirih dan saat kakiku mulai bisa kulangkahkan lagi, aku kembali berjalan. Suara tangis mereka ada di antara tangisku dan itu satu-satunya petunjuk arah jalanku. Tangis itu seperti menjadi awal dialog antar a kami untuk saling memberitahu jalan yang licin, berbatu, dan berlubang. Tangis telah menjadi bahasa baru bagiku untuk tetap meneruskan perjalanan pulang.
Langkahku semakin ringan dan mantap selesaikan tiap tapakan, dan tangis-tangis itu mulai menyayup dan hilang satu per satu. Dinding-dinding kabut telah habis dan kami sudah sampai di puncak Bukit Miwang. Ada perempatan di sana, sebagian mengambil arah timur dan sisanya ke barat. Tak ada salam perpisahan di antara kami, namun mereka tetap menatap dingin ke arahku ketika sudah berada di belokan arah yang beda. Tatapan mereka seperti menandai yang bisa terciri dari tubuhku dan seolah berkata suatu saat nanti kita akan bertemu di tempat yang sama lagi. Aku hanya tersenyum dan menjawab dalam hati: iya, kita akan bertemu lagi!
Kemudian mereka berbalik teruskan perjalanannya.
Aku tak mengikuti salah satu arah yang mereka ambil karena orangtuaku tinggal di arah utara dari aku berdiri sekarang. Aku terus berjalan menuruni sisi Bukit Miwang ke arah utara, melewati danau kecil di lembahnya yang airnya jernih dan ditumbuhi genjer, kangkung liar, enceng gondok, semanggi dan teratai yang sedang berbunga berwarna jingga di tengah danau. Beberapa katak dan ikan kecil bermain membuat gelombang pada airnya. Aku teringat kembali orang-orang asing yang tadi melewati Bukit Miwang bersamaku. Seingatku tidak ada perkampungan atau Talang di dua arah yang mereka tuju. Jalan yang mereka lalui tadi hanya jalan untuk mencari rotan atau berburu saja. Mereka tadi tak seperti pencari rotan. Baju yang dipakai tipis, pasti robek jika tersangkut duri rotan. Dan mereka tidak membawa parang yang panjang dan tajam, hanya badik yang diselipkan di pinggang mereka. Jika mau berburu, itu tidak mungkin lagi karena tidak ada anjing bersama mereka, tidak ada tombak, siding atau lafon.
Bukankah sebelah barat Bukit Miwang adalah belantara yang belum terambah bernama Mabhu? Mereka pasti tidak akan bisa kembali tanpa peralatan senjata yang cukup untuk membela diri. Binatang-binatang di sana sangat banyak dan buas-buas. Sedangkan yang ke arah timur tadi akan tersesat karena mereka menuju Gunung Pesagi, gunung yang terkenal angker di daerah kami. Pohon-pohon dan lumut-lumut di sana mengacaukan arah. Mereka hanya akan berputar-putar mengelilingi tempat yang sama kemudian kelelahan, kehabisan bekal, terus mati kelaparan dan jadi hantu penunggu gunung itu. Kecuali dia bertemu salah satu juru kunci yang ditugaskan oleh Kerajaan Kenali untuk menjaga empat penjuru lerengnya. Mereka akan selamat, karena petunjuk-petunjuknya dapat menangkal bahaya dan mengurai misteri Gunung Pesagi. Tapi sangat sulit untuk bertemu salah satu penjuru kunci karena dia berpindah-pindah dan terlalu lama hidup di hutan. Kata kakek Aul, mereka sudah sulit dibedakan dengan binatang: kadang menyerupai babi, kijang, lutung bahkan dapat menjelma pepohonan. Hanya orang yang berniat baik dan tak memikirkan diri sendiri yang dapat bertemu dengan juru kunci dan selamat memasuki Gunung Pesagi.
Tak terasa aku sudah hampir sampai rumah. Tinggal beberapa langkah lagi kakiku sudah berdiri di dalam areal tanah perkebunan kopi orangtuaku yang ditanami andong merah sebagai tanda pembatasnya. Rumahku berada di tengah perkebunan, dengan jalan masuk selebar dua kepas. Aku tidak lewat jalan masuk tapi menyusup di antara pohon kopi berharap kedatanganku jadi kejutan. Rumahku sudah terlihat. Aku semakin mengendap-endap memperhatikan beranda pada rumah panggungku, tempat kami biasa melepas lelah dan bercerita dengan secangkir kopi. Langit berwarna lembayung tapi mataku masih mampu melihat bapak dan ibuku bercakap di beranda. Mereka belum melihatku melainkan melihat pucuk pohon randu di sampingku; ada yang ditatap ibu khusuk di situ. Kudekati pohon itu dan kugoyang-goyangkan hingga beberapa buahnya jatuh tapi ibu tetap tak berkedip sedikit pun, sedang bapak masih menggali nikmat dari tembakau yang dilinting dengan daun nipah dan sekali-sekali mengaliri tenggorokannya dengan beberapa teguk kopi. Kugoyangkan lagi pohon randu itu. Ada seekor burung yang terbang dan kemudian kembali pada dahannya dan berkicau keras berulang-ulang.
Ibuku berdiri sambil berkata, “Pak, anak kita pulang!”
“Mana?” Jawab bapak, sambil melihat ke arah halaman rumah.
“Itu, di pucuk pohon randu, bukan di halaman.”
“Mana, tidak ada! Yang ada hanya burung kedasih yang sedang berkicau.”
Ibu tiba-tiba menangis keras menelan kicau burung kedasih sambil berkata terpatah-patah. “Meski aku tak melihatmu, aku tahu kamu pulang, anakku! Setiap sela nafasku, aku selalu meminta nabi Nuh mencarimu dan membawamu pulang bersama perahunya.”
Bapak berteriak lantang sampai gemanya menyeruak kesunyian bukit dan lembah-lembah. “Bapak apa aku ini...yang tidak bisa lagi mengetahui kabar dari bahasa semesta ini.” Bapak sujud sambil tersedu.
"Pohon randu, pohon randu
Telah kutrima kabar dari dahanmu
Kedasih, kedasih
Rindu itu telah sampai dari kicaumu"
Catatan kaki:
Miwang : dalam bahasa lampung berarti menangis.
Talang : beberapa rumah yang terpusat seperti pemukiman tapi jumlahnya sedikit
Badik : pisau belati khas masyarakat lampung
Siding : tali atau seling yang digunakan untuk menjerat binatang
Lafon : anyaman tali menyerupai sarang laba-laba untuk perangkap binatang.
Pohon randu : pohon kapuk atau kapas untuk bantal dan kasur.
Daun nipah : daun pohon aren/sagu yang direbus dan dikeringkan untuk kertas tembakau.


Ditulis oleh Andreas Teguh Sudjarwadi

OLEH-OLEH DARI KAMPUNG

“Koq kini kamu nggak berminat lagi pada politik, Noy?” tanya Oji suatu hari.

“Bosan, Ji. Bikin pengen muntah saja! Politik sudah banyak peminat, penikmat, pengamat dan pengkhianatnya,” jawabku santai. “Itu-itu melulu. Omong kosong doang.”

Aku mengerti, pertanyaan yang dilontarkan kawanku itu merupakan pertanyaan murni. Murni dari keheranannya atas sikapku sekarang. Bukan mempertanyakan, menggugat atau memprotes perubahan sikapku akhir-akhir ini.

“Aku memilih untuk realistis, Ji, bekerja demi masa depan anak-anakku.”

“Itu pun salah satu sikap politik, Bung!”

Mau dianggap semacam “sikap politik” atau apa kek, terserah. Yang jelas, bagiku, politik tidak lebih dari panggung sandiwara. Para politikus itu hanya memerankan tokoh sesaat demi kepentingan sesaat. Lantas berubah lagi menjadi tokoh lain dalam episode-episode dan tema-tama lainnya, tergantung siapa sutradaranya. Mudah mencampakkan atau menggandeng, menjadi kawan atau lawan. Bongkar-pasang dan gonta-ganti rekanan. Yang penting, kesempatan dan kepentingan, serta aman di masa tua.

***

Oji memang tahu masa mudaku dulu. Aku selalu bangga mengenakan kaos bertuliskan “Di sini Bebas Ngompol (Ngomong Politik)”, “Jangan Takut Bicara Politik” dan “Sak Beja-Bejane Uwong Urip, Luwih Beja Uwong Edan Ning Kuasa”, di saat rezim otoriter mencengkramkan kuku-kuku tajamnya pada setiap sendi kehidupan sosial masyarakat yang seolah memproklamirkan “Politik adalah Panglima”.

Memang, semasa muda, semasa mahasiswa, aku paling getol berceloteh soal politik, meski aku bukan mahasiswa fakultas ilmu politik. Aku sendiri sudah berlangganan koran dan majalah sosial terkemuka di saat kawan-kawan kos lebih tertarik pada pacaran, keluyuran di mal, diskotik, bilyar, nonton vcd serta judi kecil-kecilan di salah satu kamar kos kawanku.

Tak jarang aku tiba-tiba berkomentar mirip komentator di televisi. Bagiku, menjadi komentator politik, tidak usah susah-susah bersekolah di jurusan politik atau berkecimpung langsung sebagai praktisi politik. Bahkan tidak usah susah-susah sekolah di jurusan komentator.

Waktu itu politik merupakan topik yang agak tabu, lebih tabu daripada bacaan cabul serta gambar porno yang bertebaran di kalangan orang muda. Ketika era internet melanda pergaulan masyarakat, mahasiswa-mahasiswa mencari informasi-informasi yang tidak termuat di media massa umum. Semakin kuat tindakan represif penguasa, semakin kuat naluri keingintahuan mahasiswa.

Aku pun tidak mau ketinggalan informasi. Kawan-kawanku selalu datang dengan membawa beberapa fotokopian berita-berita “tak tersensor”. Majalah Independen menjadi salah satu sumber obrolan kami. Namun aksi sempat surut ketika terjadi kasus pembredelan media massa yang dicap PKI, dan mahasiswa mengadakan aksi tiarap.

Menjelang reformasi, kepada kawan-kawanku kukatakan, “Maaf, aku mendahului kalian menyambut reformasi. Inilah reformasi sesungguhnya bagiku, Kawan-kawan.”

Reformasi versiku adalah segera menikah, setelah lulus dan menunggu panggilan kerja. Aku menikahi seorang gadis yang sama sekali tidak peduli soal politik. Aku tidak menuduhnya buta politik. Dan salah satu sebab kenapa aku menikahinya adalah karena aku tidak mau membiarkan hiruk-pikuk perpolitikan itu hanya akan menggerogoti usiaku.

***

Bersamaan dengan masa bulan maduku, saat itu pula gerakan mahasiswa bangkit lagi. Tindakan aparat lebih ngeri lagi. Aparat yang berjubah zirah, berhelm, bersenjata dan berperisai itu garang sekali mengganyang para mahasiswa yang mengadakan unjuk rasa seraya membakar ban-ban bekas di jalanan. Ngeri aku melihat itu semua. Bahkan pernah suatu malam terjadi “jam malam” dan malam terkelam tanpa lampu. Aku pun harus mematikan lampu vespaku agar tidak tiba-tiba disergap orang-orang misterius.

Aku ingat sekali. Jalan Gejayan gelap gulita. Lampu-lampu jalan bertumbangan. Batu-batu dan kayu bertebaran. Kaca jendela bekas gedung Bank Harapan Sentosa hancur lebur. Itulah malam paling mencekam yang mengotori bulan maduku.

Aku menganggapnya sebagai sebuah teror sesungguhnya. Subyeknya murni diperankan aparat dan rakyat. Obyek pelengkap penderitanya adalah para korban, entah seberapa jauh keterlibatan korban tersebut. Semalam suntuk pasukan pengendali kerusuhan menyisiri rumah-rumah penduduk dan kos-kosan mahasiswa di sepanjang jalan Gejayan. Beberapa mahasiswa ditangkap, digebuk dan diculik. Bayang-bayang ketakutan, kengerian, kebringasan, kebencian melanda setiap sudut jalan. Moses Gatotkaca gugur.

Waktu itu dari kampung Sri Pemandang Pucuk ayahku mengirim pesan, menyuruh aku dan istriku pulang saja ke Bangka. Kata ayahku, setiap hari emakku gelisah memikirkan nasib aku dan istriku. Daripada ada apa-apa di Jogja, mending pulang saja ke kampung halaman dan memulai kehidupan baru. Namun aku tetap bertahan.

Sampai ketika reformasi ramai digaungkan, berita dan ulasan politik semakin banyak peminatnya. Menu lezat harian sebagian orang. Bahkan mereka kecanduan seperti halnya kecanduan narkotika. Barangkali politik sudah menjadi semacam pil ektasi, yang dapat membuat pemakainya senang sepanjang waktu sampai-sampai lupa waktu.

***

Keluargaku terbangun atas kesadaran aku dan istriku. Tidak terbangun atas kepentingan-kepentingan sepihak. Dua pribadi, yaitu aku dan istriku, sepakat bersatu dalam satu tujuan utama sebagaimana sebuah keluarga. Anak-anak yang kumiliki bukanlah supaya mereka bisa menafkahi keluarga ibarat pepatah jawa “kebo nyusu gudel”, alias “induk kerbau menyusu dari anaknya”. Kalau aku punya utang, aku dan istriku harus mencari tambahan penghasilan untuk melunasinya, bukannya mewariskan utang pada anak-anakku. Jika anak-anakku kelak memang mampu, alangkah malunya aku dan istriku kalau anak-anakku yang membayar utang keluarga.

Media langganan kami sekeluarga pun sudah naik harga, menyusul kenaikan harga tarif listrik, telepon dan bahan bakar minyak. Belum lagi biaya harian rumah tangga, seperti pangan, sandang, pendidikan dan kesehatan. Kenaikan rupiah atau penurunan nilai tukar uang Amerika ternyata tidak kemudian menurunkan harga-harga yang sudah telanjur naik itu. Yang namanya keuntungan atau laba, siapapun tergiur dan memakai berjuta alasan untuk mempertahankan bahkan meningkatkan keuntungan. Apalagi kondisi gaji yang tak jua dientaskan.

Seringkali aku menggerutu pada koran langgananku itu. Isinya berita politik melulu. Isinya kerusuhan melulu. Isinya teori nihil melulu. Isinya omong kosong belaka. Aku membayar uang langganan bukan untuk menikmati simpang siur siaran politik atau juga berita-berita yang menakutkan keluargaku. Politik tidak menyajikan kemajuan apapun terhadap kesejahteraan keluargaku. Menambah wawasan sosial-politik tidaklah menambah pendapatan keluargaku. Banyak mengerti perkembangan politik, tidak lantas banyak meringankan beban biaya penghidupan keluargaku.

Aku ingat, dulu betapa jengkelnya orangtuaku melihat aku ikut-ikutan anti monopoli partai besar jaman itu, sampai-sampai emakku bilang, “Kita selama ini makan dari partai pemerintah, bukan dari partai lainnya.”

Tak pelak nyaliku ciut mirip kura-kura manyun kehilangan rumahnya. Emakku lebih berpikir kenyataan tentang rumah tangga beserta kebutuhan harian keluarga, daripada membentuk oposisi di rumah.

Tak pelak politik menjadi topik yang paling menjijikkan bagiku. Bukan sebatas tayangan harian media kaca di rumahku, baik dari berita maupun dialog-dialognya. Kebetulan anak-anakku lahir saban tahun, sehingga aku ada kesibukan di rumah. Setiap hari selalu kupasang lagu anak-anak. Televisi jarang kunyalakan. Istriku senang sekali.

***

Di lingkungan tinggal kami, saban malam “politikus-politikus” muda mengudarakan obrolan politik. Pemuda-pemuda itu asyik-masyuk berembuk soal politik, bahkan seolah melebihi pakar politik. Minat mereka sangat menggebu-gebu pada politik beserta isu-isunya. Reformasi memungkinkan politik tak lagi tabu.

Ah, mungkin mereka cikal-bakal politikus besar, kendati kesempatan belum sempat mengundang mereka tampil. Mungkin obrolan politik sekadar obat begadang setelah seharian suntuk didera pekerjaan mereka. Maklum, mereka cuma pekerja kasar dengan gaji yang selalu disertai bonus muka kecut bos mereka. Mungkin persaingan mereka dalam pengetahuan umum. Mungkin mengasah kepekaan setelah membaca, mendengar atau melihat sajian berita, entah dari mana mereka memperoleh sumbernya.

Kulihat sisi baiknya pembicaraan tersebut lebih menyita waktu dan pikiran mereka, daripada terlibat kegiatan merusak akhlak, merusak fasilitas umum dan tindakan kriminal malam. Disamping itu, acara kumpul-kumpul itu pun bersamaan dengan aneka kegiatan pemuda. Dari olahraga, kesenian, budaya, membuat spanduk, bagi-bagi kerjaan maupun sekadar meramaikan obrolan, semuanya bercampur aduk dengan politik. Terlebih sejak daerah kami dibanjiri pendatang, yakni mahasiswa yang kos.

Kawan-kawan kantor pun terus saja bicara tentang politik, melebihi pekerjaan rutin mereka. Setiap sebentar membaca judul berita halaman muka koran, segera mereka berkomentar. Pekerjaan belum juga selesai, pembicaraan mereka sudah sampai mengenai rumah para politikus.

Kupikir, mungkin mereka salah bidang pekerjaan. Mungkin mereka kecewa karena tidak kesampaian menjadi politikus. Mungkin untuk gengsi antar pegawai. Mungkin sekadar selingan, mencari hiburan, yang bagi mereka politik itu seringkali menyuguhkan kelucuan-kelucuan dan dihiasi kening-kening berkerut untuk mempertahankan argumentasi mereka.

Makanya, aku bosan bicara atau sekadar mendengar obrolan seputar hiruk-pikuk politik. Sekarang ini perhatian, tugas dan tanggung jawabku sebagai kepala keluarga, warga biasa dan pegawai kantor tidak boleh diserongkan pada urusan politik milik orang-orang. Mengurusi rumah dan pekerjaanku saja aku sudah kelabakan, apalagi perpolitikan Bangsa ini selalu berubah-ubah serta belum berhasil menemukan formasinya.

***

Suatu hari Minggu siang sepulangnya kami sekeluarga dari kebaktian di gereja,
Makcikku (adiknya emakku) dan kedua anaknya berkunjung ke rumah kami. Beliau datang dari kampung pelosok Bangka, bersama tetangga beserta tiga anaknya pun ikut, karena ingin menikmati kehidupan ini, bahwa memang dunia ini tidak seluas kampung halaman mereka belaka. Rencananya mereka akan tinggal beberapa hari di rumah kami.

Tak lupa Makcikku membawa oleh-oleh dari kampung, oleh-oleh khas Bangka, yang membuat hatiku terseret ke suasana kampung halaman yang sedap. Sahang sekarung kecil, sisa tuai bulan lalu. Lempuk cempedak, manisan rukem, asinan klubi, asinan jambu bandar, keranji, kemunting, sambel binjai, juga ada selai nanas. Sedap tentunya. Ya, suasana kampung yang hanya menyuguhkan pola pikir sederhana, tidak susah-susah berpikir urusan selain makan dan pergaulan sekampung.

Makcikku berkisah pula tentang kemajuan kampung semenjak harga-harga sahang melambung dan kebun-kebun kelapa sawit dibuka. Dibarengi pula dengan pelebaran jalan, penambahan angkutan umum lintas kecamatan dan pembangunan rumah-rumah baru bagi pekerja perkebunan kelapa sawit.

Kata Makcikku, para pemuda di sekitar kebun sudah tersalurkan. Tidak ada pemuda menganggur. Aku jadi malu, sebab jauh berbeda dengan di daerah kami. Di daerah kami, bukan kampung tapi kota pun bukan, sebagian besar pemudanya memilih menganggur seraya terus menghidupkan sejuta khayalan setinggi-tingginya kendati pendidikan mereka lebih tinggi dibanding pemuda-pemuda kampung Makcikku.

Kata Makcikku lagi, di kampungnya saban awal bulan selalu ada keramaian, seperti pasar malam, pentas kesenian rakyat, teater dan pagelaran musik. Tokoh masyarakat kampung mengundang beberapa seniman daerah lainnya. Kalau soal hiburan berteknologi mutakhir, mereka tidak mau ketinggalan. Hampir setiap rumah memiliki televisi, perangkat parabola, vcd player dan playstation.

“Eh, mana tadi anak-anak itu?” celetuk tetangga Makcikku.

“Main di luar dengan anak kami. Paling-paling mereka main game internet di depan itu,” sahut istriku sambil menunjuk ke arah jendela depan.

“Main gem? Wah, anakku pilih nggak makan sehari kalau sudah main gem,” serobot Makcikku.

“Sama dengan anakku!” sela tetangga Makcikku pula. “Kalau sudah ketemu gem, bisa-bisa nggak belajar dia. Maunya main geeeeeeeeem terus.”

“Aku sih curiga. Ini mungkin salah satu akal-akalannya politik warisan orde lalu. Anak-anak sengaja dijejalkan dengan permainan-permainan modern. Lihat aja. Buku-buku bermutu dilarang beredar dan media massa kritis diberangus. Tapi kalau permainan ketangkasan macam itu, justru tumbuh subur berhamburan semacam jamur di musim hujan. Apa lagi kalau bukan untuk membodohi generasi muda.”

Akal-akalannya politik warisan orde lalu? Untuk membodohi generasi muda? Aku menoleh ke arah istriku. Kebetulan istriku pun menoleh ke arahku. Aku dan istriku saling berpandangan. Air mukaku kubikin agak runyam, sebagai isyarat bahwa aku agak risih pada bincang-bincang seputar politik. Istriku mengangkat bahunya. Apa boleh buat. Aku dan istriku kembali diam dan melongo mendengar diskusi mereka.

“Iya, benar. Persewaan playstation di kampung kita selalu dipadati oleh anak-anak setiap jam-jam pulang sekolah. Berjam-jam duduk bermain gem, boros waktu. Malas bikin PR. Belajar jarang. Dalam otak hanya ada gem-gem aja!”

“Nggak kayak jaman kita dulu, ya,” kata Makcikku. “Jaman kita dulu anak-anak sudah dibiasakan membuat apa-apa. Menjahit, pelihara kembang, berkebun, bikin kerajinan, membantu ibu di dapur. Para cowoknya juga rajin. Bikin mainan sendiri, melukis, main bola, berkebun. Pokoknya, nggak ada yang duduk sembari menghadap kotak kaca dengan hati penuh kepenasaran yang cuma memboroskan hari.”

“Makanya, akal-akalannya orang-orang tua yang berambisi mempertahankan status mereka sekaligus merusak daya nalar generasi muda bahkan anak-anak. Dasar politikus, banyak tikus!” tandas tetangga Makcikku itu.

“Bagaimana kalau kita, para ibu-ibu, turun ke jalan? Kita gugat kebijakan birokrasi yang telah turut membidani kelahiran ‘generasi terhilang’ yang tengah marak ini. Sepakat?” tawar Makcikku pada tetangganya, lalu menoleh ke arah istriku.

Mendadak aku merasa kepalaku bagai ditinju ribuan palu, dan perutku terasa tidak nyaman. Ada yang tidak beres dalam perutku. Aku dan istriku saling melirik. Kuisyaratkan bahwa aku pening mendengar soal itu, dan aku mau ke belakang dulu. Entah istriku mengerti atau tidak pada bahasa isyaratku, aku bangkit dari kursiku.

“Makcik terus saja dulu, ya,” selaku.

“Lho, mau ke mana?”

“Ke belakang sebentar. Sebentar saja,” jawabku seraya segera kutinggalkan perbincangan seru mereka. Aku sudah tak tahan lagi.

Di kamar mandi aku muntah sepuas-puasnya.

PEREMPUAN KAMPUNG KARAMPUANG

28 Januari 2010



Malam ini purnama sedang penuh. Bulan benderang begitu bundar. Bercahaya menyinari seperti lindungan ibu dalam dekapan yang menjelma dewi malam dan aku memperoleh restu di wajahnya yang bulat. Membuat langit hitam tak begitu gelap. Dalam rindang hutan pekat melarut lewat hembusan angin yang dingin. Bukan gulita sebab mataku masih bisa melihat. Hanya lindap dan kudapati kunang-kunang berkerlip, mengganti bintang yang tiada. Aku menantimu di batas Dusun Karampuang. Kau belum juga muncul padahal aku sudah lama menunggu di sini. Aku takut dan cemas. Itu sebabnya mataku terpaku pada ujung aspal yang menghilang seperti ingin menerobos malam yang teduh, mencari bayanganmu yang berkelebat, dan sesekali aku menengok ke belakang membaca situasi.
Rustam, tahukah kau? Di dalam sana, sunyi bukan berarti tidak ada bunyi walau tadi mereka sembunyi karena aku tak peduli. Bunyi hewan malam, nyanyian serangga, suara berdesis-desis yang bukan ular, kicau kao-kao yang mengerikan di rimbun daun di dalam hutan yang senyap, berbondong-bondong mengerubungi telingaku. Berdenting serupa dawai, mengalun dan merambati udara, dan bakal meninggalkan luka di hatiku bila kau tidak jadi menjemputku malam ini. Maka hadirlah di ujung jalan itu seperti dilahirkan oleh kabut yang merayap. Jangan sampai aku menjadi batu di sini karena gigil atau habis karena dimakan angin dan kau harus tahu jiwaku mulai beku meski sebenarnya kepalaku ingin meledak karena bosan. Aku tidak mungkin kembali setelah ingkar.

”Sepertinya lelaki itu tidak akan datang.”

Seseorang memegang bahuku dari belakang. Aku tersentak kaget dan terlonjak bangkit dari tugu batu yang kududuki. Aku gemetar gugup mengetahui siapa yang menegur.

”La Gole! Sedang apa kau di sini? Kau mengikutiku?” Sontak aku menjauhinya.

”Jubaedah, pulanglah sebelum terlambat. Masih ada kesempatan dan aku akan membantumu,” ujarnya sembari duduk di tugu batu yang kutinggalkan.

Dalam gelap aku tahu ia menatapku tajam, seruncing jarum yang pernah menusuk tanganku. Batinku tertohok mengingat ia adalah mata-mata Puang Gella, pemangku yang sering menghukum bila ada orang yang melanggar di kawasan dusun, meski ia temanku sejak kecil dan beberapa waktu silam aku menyimpan hati untuknya. Namun ia menunjukkan sikap yang tidak kusuka. Ia bukan lelaki tangguh, pengecut yang tidak berani mengajakku kawin lari.

”Benar kau akan menolongku?” tanyaku pura-pura ragu.

”Kau tidak percaya padaku?” La Gole menghampiriku begitu dekat hingga bisa kuhirup bau badannya yang belum disentuh sungai. Aroma napasnya purba.

”Baiklah kalau begitu. Ijinkan aku menunggu Rustam sebentar lagi,” pintaku. Lalu kedua kakiku tak mau diam karena gelisah.

”Jika dia tidak muncul?”

”Kau boleh membawaku pulang!” jawabku sedikit kesal.

”Sepakat.”

Agak lama kami saling diam seolah jiwa kami raib meninggalkan raga yang kikuk, menguak hutan dengan lesat untuk menemukanmu dengan tujuan yang berbeda. Kuperhatikan La Gole sedang duduk bersila sambil mempermainkan parang bersarung yang biasanya terlilit di pinggangnya. Tidak kutahu apa maksudnya, tapi membuatku bergidik membayangkan kulitmu robek dan menumpahkan darah jika badik itu keluar dari sarangnya. Kau pasti akan kalah sebab La Gole bekerja dengan otot sedangkan kau lebih suka berpikir.

”Apa yang kalian lakukan jika sudah bertemu? Apakah kau akan lari dengannya?” La Gole mengajukan tanya yang menyelidik, memecah hening. Posisi duduknya sudah berubah, satu kakinya berdiri dengan lutut menekuk.

”Tidak melakukan apa-apa. Aku hanya mau mengatakan sesuatu?” balasku berbohong sebab ia sudah curiga.

”Apa itu?”

”Kau tidak perlu tahu. Kenapa kau bertanya-tanya?”

”Ingin tahu saja. Bagaimanakah perasaanmu padanya?”

”Itu bukan urusanmu!” teriakku nyaris menuding, membuatnya bungkam.

Aku berbalik arah membelakanginya menahan amarah, antara jengkel dan putus asa. Kusandarkan kepalaku pada pohon yang tak bisa kurangkul. Aku mencabut-cabuti kulit keringnya yang berlumut dan memang sudah terkelupas, membuang geram. Mataku terasa panas bagai diperciki biji lombok. Pedih memerih.
Sekarang aku tidak ingin kau datang sebab itu akan mengantarkan nyawamu. Namun aku juga butuh kau datang membawaku pergi dari sini, jangan biarkan aku berkalung rantai. Aku tidak mau menjadi perawan tua! Bagaimana ini? Aku galau.

Tetapi tunggu. Mataku yang melirik menangkap bayangan sekilas, bersijingkat dan menunduk mirip gerak-gerik babi hutan, berpindah dengan cepat ke semak-semak. Apakah itu kau? Tidak sebentar aku terpana, dadaku berdesir dengan degupnya. Aku merasakan firasat tak baik. Aku mesti bersiasat.

”Aku menyerah. Seperti katamu, Rustam tidak datang. Mari pulang.” Sebisa mungkin kukulum senyum ini dan menampakkan muka murung agar tidak ketahuan, supaya kau dapat mengikutiku dari jarak jauh. Aku akan mengecohkan perhatiannya.

”Aku masih setia menemanimu menunggu jika kau mau?” Aku tahu ia mengejekku.

”Tidak usah! Barangkali dia pecundang yang lebih darimu.”

”Bagus kalau kau sadar. Orang kota memang tidak bisa dipegang janjinya!” timpalnya tak mau kalah.

Aku tidak lagi menyahut dan berjalan lebih dulu. Rustam, susul aku di puncak bukit!


***

Jubaedah, kau adalah gadis sunyi. Semerbak harum bunga desa, wangi menebarkan angan di setiap kepala jantan muda sepertiku. Aku menemukanmu bagai mutiara diantara ribuan kerikil bebatuan yang terserak di tepi kali. Namun ada yang hilang di wajahmu yang bulat langsat. Laksana embun pagi yang tak ada lagi, saat matahari tak bisa lagi disebut mentari. Aku seperti pangeran yang menemukan bidadari.

Di batas Dusun Karampuang jalanan beraspal terputus seperti lorong buntu. Terdapat daun kelapa yang diikat merintang di atas jalan. Mobil dinas kuparkir di luar kawasan adat karena dilarang masuk. Lagi pula hanya ada jalan setapak yang sempit. Tanahnya berdebu di musim kemarau dan licin berlumpur di musim penghujan. Banyak bebatuan. Di hari-hari biasa dusun ini begitu sepi bak kampung yang bisu.

Awal bulan November aku kembali. Aku sudah menjadi pegawai negeri di kabupaten. Setahun yang lalu aku datang di kampung ini untuk menyusun skripsiku mengenai adat Karampuang. Setelah lulus kuliah tak mampu kutahan hasrat hatiku, ingin kembali menggapaimu. Masihkah kau menjadi perawan suci yang tidak boleh dijamah?

Kutinggalkan semua yang berbau teknologi dan barang yang terkesan mewah di mobil sebelum memasuki kawasan adat yang dikeramatkan ini, lantaran pamali. Menurut keyakinan orang sini, segala yang datang dari luar lebih banyak merusak dan akan mengubah tatanan tradisi yang mereka jaga selama berabad-abad, turun temurun. Itu sebabnya aliran listrik tidak bisa masuk karena kaum adat menolak. Sungguh dilema, mengingat aku memegang proyek dari Pemda untuk menjadikan Karampuang tempat wisata, yang mungkin bakal melunturkan kebiasaan dan kepercayaan penduduk di dusun ini meski dengan maksud memberdayakan masyarakat.

Aku masih terkenang ketika pertama kali datang di kampung ini. Aku disambut dengan ramah. Tidak kurang isi baki sudah ditambah, belum setengah isi gelas sudah diimbuh. Aku yang mengetuk pintu bukanlah orang lain, malah dianggap keluarga sendiri. Sebab mereka memandang tamu itu membawa rezeki. Saat itu aku menumpang tidur di rumah ayahmu di luar kawasan adat, di dusun tetangga. Lantaran aku butuh listrik buat menyalakan laptopku, menulis hasil riset yang kudapat. Pernah aku menginap di rumah seorang warga. Alat penerangnya berupa lampu minyak yang mereka sebut sulo. Semalam suntuk aku menulis di lembar kertas. Pulang pagi-pagi. Kau berada di depan pintu. Tergelak tawamu melihatku. Suaramu renyah.

”Ada yang lucu?”

Kau tidak menjawab tapi memberikan isyarat. Kau pegang hidungmu yang mungil dan bangir. Aku mengikuti. Astaga, cuping hidungku dipenuhi asap hitam. Aku lekas pergi ke belakang membasuh muka.
Seminggu dalam sebulan, kita bertemu. Kau melepas masa haidmu di rumah. Parasmu demikian sendu seperti tidak terima seperti terpaksa, saat kau mengatakan sedang menuntut ilmu untuk kelak menjadi seorang sanro di rumah adat Karampuang. Rumah panggung yang merupakan simbol sosok perempuan. Dari jauh kediaman yang sakral itu memang tampak anggun. Atapnya dari anyaman daun nyiur berbentuk segitiga sama kaki. Tangganya terletak di tengah di kolong rumah.

”Tangga naik ke dalam rumah adalah kelamin perempuan,” jelas La Gole, temanmu.
Ia pemandu yang baik, meladeni keingintahuanku dan bahkan memuntahkan semua yang ia tahu. Pemuda yang bersemangat meski entah kenapa diam-diam ia sering menatapku dengan pandangan menghunus seperti tidak suka seperti menaruh curiga. Ia membicarakan tubuh perempuan dengan sangat biasa.
Membuka pintunya pun harus ditolak ke atas biar bergeser. Aku menebak pasti ini selaput dara kemaluan, sebab dibutuhkan sedikit usaha untuk membukanya. Ada batu bundar yang menindih.
”Arah dapur adalah rahim. Dan dua dapur di belakang itu adalah buah dada sebagai sumber kehidupan.”
Rumah ini tak bersekat, hanya ruang. Lantai dan dinding terbuat dari bambu. Ada loteng yang lumayan luas seperti layak untuk dijadikan kamar, tempat persimpanan kebutuhan pokok terutama padi. Bahkan ada padi yang berumur seabad.
”Semua warga sehabis panen tanpa diminta menyimpan sebagian padinya di sini untuk digunakan bersama jika terjadi gagal panen. Padi ini tidak boleh di jual.”
Aku ingin sekali mengabadikan apa yang aku lihat. Namun lelaki yang terbiasa bertelanjang dada saat bekerja di sawah ini melarangku dengan tegas. Badannya yang berotot dengan kulit secoklat kayu itu langsung tegap menantang.
”Jangan coba-coba bawa kamera. Itu kesepakatan kita dari awal. Boleh jadi kau yang melanggar, kami sekampung yang kena malapetaka. Kalau kau mau lama di sini hormati adat kami!”
Belum sempat aku minta maaf, La Gole sudah berlalu. Kulihat punggungnya digerogoti jamur, bercak-bercak putih.
Ketika kuceritakan penjelasan La Gole kepadamu, kau tersenyum simpul membenarkan. Pipimu merona seperti lembayung yang memerah bagai senja yang membakar langit. Aku jatuh hati.
Upacara Mappugau Sihanua sepertinya sudah dimulai. Selama tujuh hari tujuh malam. Aku berjalan santai menikmati pagi yang mau pergi. Sepanjang jalan yang berkelok kulewati rumah penduduk yang kadang saling berjauhan. Tak jarang aku berpapasan dengan warga yang masih kukenal. Di kiri kanan diselingi tanaman sayuran, pohon pisang, pohon kopi dan pohon kakao, serta hamparan sawah yang tidak rata, berundak-undak dengan garis pematang meliuk, sejauh mata memandang. Ada sumur tua berdinding susunan batu, aku menyebutnya kolam karena dangkal. Bila airnya lagi penuh, penduduk memandikan anaknya dan bayi yang baru lahir, biar mendapat berkah. Air mengalir khas pegunungan terdengar jernih menggelitik kesegaran. Hutan lebat dan belukar liar tampak rimbun di puncak bukit, hijau nian seperti belum pernah disinggahi. Jubaedah, secantik apa kau sekarang?
***

Lelaki itu masih gagah. Badannya berisi dan kulitnya bersih seperti pasir laut, seperti belum pernah dicubit matahari. Kini aku yakin kau makin terpikat, melirik pakaiannya yang sewarna kulit sapi. Lelaki idaman yang menggiurkan bunga desa sepertimu. Dan aku terhempas ibarat hati yang terbuang. Sebab cintaku sedang cemburu.
Ah, lelaki bernama Rustam itu terlalu mau tahu tentang adat kita dan ia sebarkan ke mana-mana. Aku tidak menyukainya karena itu, dan sebab ia mencuri hatimu dariku. Lebih dari itu, ia juga mencuci otakmu hingga pikiranmu telah kota walau disebabkan juga karena kau pernah sekolah sampai SMA di kabupaten. Kau pernah menjadi guru di dusun sebelah, mengajari kami baca tulis di usia kami yang sudah berkumis.
Kabarnya, Rustam akan mendirikan pasar rakyat dan penginapan di sekitar kampung ini. Makin ramai saja orang datang ke sini. Melihat kami sebagai tontonan. Melihat upacara kami sebagai pesta. Oh, Karampuang bagaimana nasibmu nanti? Ketika kebiasaan orang kota meracuni adat kami, menjarah apa yang kami jaga, yang kami miliki. Aku ingin sekali mengumpat, mereka tidak beradab karena mereka biadab!
Mungkin kelak tidak ada lagi yang namanya gotong royong. Seperti yang pernah dihimbau orang dulu, ”Hai sekalian anakku, kasih mengasihilah, rebah saling membangkitkan, hanyut saling mendamparkan, berkata saling mengiyakan, dan berbuat saling bantulah. Khilaf saling mengingatkan, satu kata dengan perbuatan, bagaimana di dalam begitu pula di luar, tegakkanlah yang keramat, sandarkanlah yang tabu, dan dudukkanlah yang makruh.”
Sekarang banyak yang mengerjakan sawah dengan cara bagi hasil, tidak lagi yang punya hajat memberi makan untuk disantap bersama. Begitu pula saat membangun rumah, menggunakan tenaga upah. Mengumpulkan puing-puing harta sehingga saling mencekik. Serakah sehingga saling menutup pintu.
Oh, Tomatoa! Hanya kamu yang murni. Kami akan teguh, tidak akan memasang paku tetap memakai tali rotan untuk menyusun kerangkamu. Mengganti tiangmu yang lapuk dengan menebang pohon bertuah di rimba melalui upacara madduik, menarik kayu bersama di hutan, wujud satu rasa. Tidak dipikul, sebab dipundak tanda mau menang sendiri. Oh, Tomatoa, kamu perempuan luhur yang kami puja. Dan kau, Jubaedah adalah perempuan Kampung Karampuang yang dijunjung. Darahmu adalah darah To Manurung. Mulia atas nama adat. Dan adat mengajarkanku tentang hidup, tidak mungkin kukhianati. Aku mencintaimu sebagaimana aku memegang adat. Disela itu terselip keinginan, yakni memilikimu yang tak boleh. Mencintai dan menginginkan itu serupa tapi tidak sama. Mengertikah, kau?
***

Aku bukanlah Maryam dan kenapa pula sejarah harus berulang? Tuhan, bolehkah aku mengeluh sebab sudah lama aku berpeluh? Aku tidak bangga dilahirkan sebagai makkunrai, perempuan. Tubuhku menyiksaku. Aku dibelenggu.
Ayah dan Ibu yang berbuat, mengapa aku yang harus jadi tumbal? Apakah memang dibutuhkan orang lain untuk menebus dosa? Lantas, salahkah mereka? Kau bisikkan di telinga Arung, tetua adat kami yang jarang bicara itu, untuk menentukan garis hidupku yang mesti kujalani. Menjadi perempuan suci, perempuan yang terkunci supaya tetap perawan. Jangan sampai sesuatu yang asing menyelinap masuk sebab akan melunturkan tradisi. Titah yang tak terbantahkan kecuali kalau aku cacat moral. Karena nanti warga juga yang akan memilih. Dan Ayah, Ibu, tak pernah membelaku. Ia wafat dengan patuh meski ia tak patut dipanggil Ayah, sebab tak pernah risau atau tak mau tahu jeritan hati anak gadisnya. Ayah memilih diam sampai ia menutup usia. Ayah hanya melihatku tumbuh.
Dan aku memilih, berontak seperti ibu. Ibu yang mati karena melahirkanku. Ibu yang kawin dengan kaum pendatang dan dikucilkan di desa tetangga. Ibu yang dipaksa bernazar, jika bayinya perempuan akan diambil sebagai penggantinya. Dan Kau, Tuhan, mengabulkannya…
Tetapi tidak! Sebagai anak aku merasa berkewajiban melanjutkan perjuangannya. Memang Puang Sanro telah renta, sudah layak istirahat. Perlu diganti. Tetapi mengapa harus aku? Tidak bolehkah orang lain? Aku selalu ingin bertanya kepada Puang Sanro tapi aku urung dalam hati, apakah ia memendam apa yang aku pendam? Ah, tentu tidak. Sebab aku tahu dari orang-orang, Puang Sanro adalah perempuan yang tidak laku.
”Dalam darahmu mengalir darah To Manurung, Anakku. Ikutilah takdirmu sebagaimana air yang mengalir,” ucapnya bernasihat ketika aku sedang malas meramu obat.
”Betapa menyenangkannya membantu orang, Anakku. Itu akan membuatmu menjadi ada,” lanjutnya berpesan di hari yang lain saat aku enggan mempelajari mantra-mantra.
Ketika menolong, haruskah berkorban? Cukup! Aku tak mau mendengar lagi. Aku mau tuli saja, sambil dalam benak ini bertekad, aku akan melawan arus. Aku mesti berupaya meski tangis mendahului.
Ya, sebab aku hanyalah perempuan biasa meski aku adalah perempuan yang cantik. Kusadari itu karena banyak yang merayuku semasa SMA dulu. Tapi aku tak hanyut. Aku mesti hati-hati meniti sebelum salah melangkah. Maka kutambatkan cintaku pada sahabat kecilku, La Gole. Aku sering memperhatikannya sampai-sampai aku tak sadar tubuhnya telah perkasa. Jika kami sedang berjalan beriringan aku senantiasa mendongak untuk melihatnya berbicara. Telingaku akan mendengar suara beratnya yang menentramkan. Andaikan aku dipeluk, pasti aku akan tenggelam dalam bahunya yang lebar. Saat kulit cokelat legamnya berkeringat, aku mencium bau khas manusia. Pernah juga ia menggenggam tanganku erat, sesaat tapi kurasakan kehangatan yang kokoh hingga jiwaku melambung. Hanya lidahku yang belum menafsirkan apa-apa. Namun ia tidak punya nyali, sikapnya terlalu lugu tak sebanding dengan badannya yang garang.
”La Gole, kau ada hati denganku?”
“Ya. Aku sayang kamu.”
“Kalau begitu bawa aku pergi dari sini.”
“Aku tidak punya kampung selain dusun ini.”
“Tinggal di hutan pun tak apa, asal bersamamu.”
“Tidak bisa. Tanah ini adalah orangtuaku.”
“Ah, kau tidak mencintaiku sebab cinta itu perlu bukti.”
”Aku tidak perlu membuktikannya karena cinta soal hati, dan itu cukup buatku.”
”Bagiku tidak. Kau bohong! Aku membencimu.”
Aku gigit jari. Aku kecewa dan patah hati.
Lalu muncul dia. Lelaki dari kota. Hadir dengan senyumnya yang menawan memberi harapan. Kulitnya harum dan langsat sepertiku. Kerap kubayangkan bila kami menyatu tak ada yang tahu bahwa kami berdua, bukan satu tubuh. Dan tentu saja ia hangat, antara panas dan lembap. Ia lapar dan aku haus, di hubungan kami yang sempat terjeda. Cukup lama hingga rindu mendera.
Kini malam sungguh malam karena awan yang menenteng air berlayar di langit kelam. Mengaburkan cahaya ibu di atas sana hingga buram. Lepas maghrib, pelita rumah penduduk memang sudah padam. Obor La Gole yang menuntun jalan juga telah redup. Kami tiba di sekitar rumah adat Karampuang.
”Kau tunggu di sini sebentar.” La Gole pergi menengok, mencari cara agar aku tidak terlacak sudah kabur.
“Jangan Lama,” kataku setelah ia agak menjauh, pura-pura khawatir.
Ah, lelaki itu memang baik tapi aku harus pamit mengejarmu. Berangkat diam-diam. Aku berlari dengan kain terangkat mengangkangi tanah yang kupijak, kendati sesekali terjungkal karena kesandung akar pohon yang mencuat. Hujan mengejarku seperti mengutuk.
Rustam, kau sudah berada di puncak bukit itu. Banyak peti batu berundak-undak di tempat ini, makam nenek moyang kami yang luhur. Kau basah kuyup sama denganku oleh derai hujan. Ada senter di tanganmu. Ternyata di atas sini tidak terlalu gelap seperti temaram. Paling tidak aku dapat melihat bayanganmu. Sementara jarum-jarum langit masih menyerbu, mengguyur deras, jatuh merintik terdengar menitik dan menerabas. Angin bertiup meliuk sangat kencang. Kau segera memelukku.
“Maafkan aku, datang tidak tepat waktu. La Gole mencegat dan mengancamku sebelum masuk desa. Karena aku, kita terjebak di sini.”
“Tak apa. Bukan salahmu.”
“Sekarang aku siap membawamu pergi.”
“Tidak. Jangan sekarang, di bawah sana begitu rawan. Di sini kita aman.”
”Lalu kau mau kita menunggu di sini sampai pagi?”
”Mungkin. Rustam, aku meminta sesuatu.”
”Apa itu? Akan kupenuhi.”
”Wisuda aku menjadi perempuan seutuhnya, malam ini juga.”
Apakah rasa sakit itu? Bila hasrat terjerembap, ketika birahi yang terpendam peka pada setiap ransangan. Melelehkan kebekuan dan meruntuhkan kekakuan. Aku gigil oleh getar. Di gubuk tua itu, tempat biasanya sesajian di letakkan, aku rebah menerimamu. Sesajen yang baru tadi siang, berhamburan karena ulah kita. Aku ingin perbuatan ini sakral seperti kematian. Rinai-rinai bersenandung seperti berkisah. Aku adalah hikayat perempuan tanpa biduk yang terdampar setelah lelah mengarungi duka. Kini aku luka dan hina. Tak perlu airmata sebab akan kutanggung semuanya.
”Terima kasih,” ucapku setelah usai.
Dan sudah kuduga. Semua makhluk punya mata. Senang mengintip yang terlarang. Lantaran nista mengusik siapa pun sebab baunya tercium tajam. Di kejauhan terlihat obor berkeliaran serupa kunang-kunang. La Gole muncul menaruh mata badik di lehermu. Mukanya murka. Aku mendorongmu supaya terhindar dan langsung melindungimu. Kita berjalan mundur menuju tebing.
***

Puang Sanro pernah meramalkan. Jika perempuan tidak kembali ke dapur, lebih senang keluyuran atau suka berkumpul, maka rentan berbuat dosa. Dan kau, Jubaedah sudah melakukan lebih dari itu. Kau telah haram di hatiku yang meradang. Ah, sebetulnya aku ingin menabur benih di pucukmu yang kuncup. Di tanahmu yang subur bakal tumbuh tanaman berbuah, darah dagingku. Kau memandikan bayi kita di sumur tua yang berkah itu supaya kelak menjadi anak yang patuh. Aku membajak sawah, menanam dan menuai padi, anak kita yang mengembala ternak, dan kau datang membawa makanan. Seandainya saja kau tahu angan-anganku yang sederhana ini, yang tak mungkin terwujud. Dan segalanya sirna saat kudapati pakaianmu berceceran ke mana-mana.
”Bangsat kau, Rustam. Kubunuh kau!”
”Berani menyentuhnya, aku lompat dalam jurang.”
Kau mengancam dan aku masih hirau. Aku merintih dalam amuk saat kau menyuruh Rustam hengkang dari kampung ini tanpa dijera. Kulempar lelaki durjana itu dengan sekepal batu hingga ia tersungkur, lalu bangkit tersaruk-saruk. Kau telah mendurhakai tanah keramat ini, sadarkah kau? Argh! Jubaedah, wajahmu yang bersinar dalam balutan pakaian putih yang menyejukkan hari-hariku kala memandangmu telah berubah busuk bagai bangkai. Kelak, kau dianggap tidak pernah ada.
Hari berganti, begitu pun bulan berlalu, dan tahun terus bertambah. Sejak peristiwa malam itu, namamu tak pernah lagi disebut nyaris dilupakan. Kau dikurung di rumah adat Karampuang di atas loteng untuk dikuduskan kembali entah sampai kapan. Tidak seorang pun diperkenankan menemuimu dan tak ada yang tahu bagaimana rupamu sekarang. Hingga pada suatu pagi, kami dikejutkan oleh kehadiran seorang bocah yang belum pernah kami lihat sebelumnya, muncul begitu saja, turun dari tangga rumah adat Karampuang bagai baru dilahirkan. Melihat dunia luar dengan muka gembira. Berlari lincah, berkeliaran seperti ingin mencari ayahnya.

1 Response to " "

  1. Unknown says:
    12 April 2015 pukul 06.04

    Kami ingin berbagi cerita kepada anda semua bahwa saya yg dulunya cuma seorang TKW di HONGKONG jadi pembantu rumah tangga yg gajinya tidak mencukupi keluarga dikampun,jadi TKW itu sangat menderita dan disuatu hari saya duduk2 buka internet dan tidak disengaja saya melihat komentar orang tentan KI ANGEN JALLO dan katanya bisa membantu orang untuk memberikan nomor yg betul betul tembus dan kebetulan juga saya sering pasan nomor di HONGKONG,akhirnya saya coba untuk menhubungi KI ANGEN JALLO dan ALHAMDULILLAH beliau mau membantu saya untuk memberikan nomor,dan nomor yg diberikan KI ANGEN JALLO meman betul2 terbukti tembus dan saya sangat bersyukur berkat bantuan KI ANGEN JALLO kini saya bisa pulang ke INDONESIA untuk buka usaha sendiri,,munkin saya tidak bisa membalas budi baik KI ANGEN JALLO sekali lagi makasih yaa KI dan bagi teman2 yg menjadi TKW atau TKI seperti saya,bila butuh bantuan hubungi saja KI ANGEN JALLO DI 0 8 5-2 8 3-7 9 0-4 4 4 insya ALLAH beliau akan membantu anda.Ini benar benar kisah nyata dari saya seorang TKW




    Kami ingin berbagi cerita kepada anda semua bahwa saya yg dulunya cuma seorang TKW di HONGKONG jadi pembantu rumah tangga yg gajinya tidak mencukupi keluarga dikampun,jadi TKW itu sangat menderita dan disuatu hari saya duduk2 buka internet dan tidak disengaja saya melihat komentar orang tentan KI ANGEN JALLO dan katanya bisa membantu orang untuk memberikan nomor yg betul betul tembus dan kebetulan juga saya sering pasan nomor di HONGKONG,akhirnya saya coba untuk menhubungi KI ANGEN JALLO dan ALHAMDULILLAH beliau mau membantu saya untuk memberikan nomor,dan nomor yg diberikan KI ANGEN JALLO meman betul2 terbukti tembus dan saya sangat bersyukur berkat bantuan KI ANGEN JALLO kini saya bisa pulang ke INDONESIA untuk buka usaha sendiri,,munkin saya tidak bisa membalas budi baik KI ANGEN JALLO sekali lagi makasih yaa KI dan bagi teman2 yg menjadi TKW atau TKI seperti saya,bila butuh bantuan hubungi saja KI ANGEN JALLO DI 0 8 5-2 8 3-7 9 0-4 4 4 insya ALLAH beliau akan membantu anda.Ini benar benar kisah nyata dari saya seorang TKW

Posting Komentar