Cerita Penghuni Sepada

Cerita Penghuni Sepada

Suara-suara berisik itu hanya berasal dari kelas 11 IPA 2. kelas yang sering kami sebut sepada OKE. Dan para siswanya kami menamakan diri sebagai ‘penghuni SEPADA’. Di hari minggu ini kami berkumpul untuk melakukan kegiatan latihan persiapan Gebyar seni ke 12.
Tawa, ejekan, suara merdu dari Vocal Groub, pukulan-pukulan palu menghantam kaknya paku yang tertancap di papan untuk membuat stand, suara musik dari speaker kecil, dan tidak ketinggalan debat kami sebagian penghuni sepada membahas masalah gebyar seni atau debat-debat lain yang tidak penting untuk di perdebatkan.
Ketika sebagian penghuni SEPADA sudah meninggalkan latihan. Yang tertinggal di antaranya Caca, Sari, Tari, Nano, Marta, Hayun, Yayi, Nano, dan Aku.
Separti biasa kami sedang beristirahat dari latihan. Tidak terasa kami asik mengobrol ngalor-ngidul membicarakan teman kami.
“ Aku benci banget sama yang namanya Seno itu lho!” Kata Caca siswiyang paling gokil di antara penghuni SEPADA lainya.
“Lha kenapa Ca?” Tanya Hayun
“Dia ngeliyat aku kayak liat apa aja, seolah-olah aku ini ceweknya.”
“Ya berarti normal dong Ca?” Samber Nano.
“Normal si normal tapi ya ngeri lah. Dia pegang-pegang aku gitu. Hikh jijik gua. Lo liat tadi kan No?” Cerocos Caca.
“Jangan kayak gitu Ca, nti jodoh lho. Hahaha….” Canda Sari.
“Amin!” Ucapku dan Nano hamper serempak.
“Amin kata lo? Amit-amit iya. Gue jodoh sama Seno? Mending gua jomblo seumur hidup.” Caca naik pitam.
Caca terlihat marah. Dia belum pernah marah seperti ini sebelumnya selama aku mengenal dia. Dia cemberut sambil memainkan handphonnya. Semua diam. Hayun sedari tadi diam dan mencoret-coret buku tulisnya mencoba memecah suasana hening dengan berdehem “Ehem.”
Tapi kami tetap diam. Lama sekali kami diam. Suasana jadi sangat membosankan melihat tingkah Yayi dan Nano yang takut-takut mengeluarkan suara. Biasanya kami tidak pernah kehabisan kata-kata dan ulah untuk bercanda. Tiba-tiba Yayi lari histeris keluar kelas.
“Kenapa dia?” Tanyaku.
“Gua kasih minum ini.” Jawab Nano sambil menunjukkan kaleng minuman.
“haha…. Ngawur lo No!” kata Caca. Dan kami semua tertawa kembali berkat Yayi dan Nano. Mungkin perasaan kami sama. Jadi lega melihat Caca tertawa kembali.
“ Sama aja kayak Loren.” Gumam Caca.
“ Siapa Ca, loren? Kayaknya aku tau deh siapa loren?” Samber Tari
“gue jadi inget sama Joko, kan waktu itu mama loren di beritain meninggal itu, gue kasih tau nsama Joko. Ko, Mama loren udah ninggal.” Cerita Caca.”Terus Joko bilang apa coba?”
“Apa?” sahut Tari.
“Kata Joko, alah aku sih enggak bingung. Orang udah ada penggantinya. Terus gue Tanya sama Joko. Siapa penggantinya Ko?” Cerita Caca. “Lo semua bisa tebak enggak, siapa gantinya Loren?” Tanya caca kepada kami. Dan kami menggelengkan kepala.
“Ya,itu Seno haha.” Caca menjawab pertanyaan nya sendiri. Dan semua tertawa mendengar Caca.
“Ikh ngawur, emang Seno mirip Loren?” Tanya ku.
“Enggak tau, kenapa joko bias panggil si Seno itu loren ya?” jawab Caca dengan muka sedikit tertawa geli.
“ Eh…eh… nti dia tau Lho. Kan gawat.” Sahutku.
“ Yang tau ya cuna kita di sini lah, kalo sampe dia tau berartislah satu dari kita ada yang kasih tau ke dia.” Celoteh Sari dengan nada tinggi dan dengan mata melirik sana-sini.
“Iya!” sahut Tari semangat. Semuanya diam sejenak.
“Cewek mana ya yang suka sama dia?” Tanya Caca.
“ Ya elo lah! Eh… kalian udaham belum.” Tanya Tari dengan jari dan mata tetap tertuju pada laptop di depannya. “ Kalo udah, pulang yok!”
“ya udah yok.” Sahut Marta.
Dan kami bersiap untuk pulang, mereka masih samara- samara ku dengar membicarakan hal lain yamh aku tidak mengerti.
“Nono mau ikut aku naik motor nggak?”tanyaku kepada Noni.
“Emmm…. Ikut nggak ya? Gumam Nani, yang sok mikir panjang. “Ikut dech.”


Hari Senin

Aku berniat tidak berangkat sekolah hari ini. Perasaanku tidak enak. Banyak tugas yang harus ku selesaikan, dan juga ada ulangan harian sejarah dan kimia. Tapi, aku harus memenuhi kewajibanku sebagai pelajar.
Suasana sekolah sudah ramai, lapangan sudah siap untuk upacara. Aku ingat hari ini jadwal piket ku. Aku berlari menuju kelas.
“Siapa sih muka dua itu?” tiba-tiba Caca masuk kelas dan angsung membanting tasnya di atas mejanya yang tepat di depanku menyapu.
“Idih…. Marah-marah, emang bagus apa marah-marah gitu?” Cercaku.
“Apa lho Ca?” Tanya Sari.
“Akh nggak tau lah Sar, aku bingung.” Caca menjawab sambil melirikku. Tapi, tidak ku hiraukan tatapan itu.
Upacara di mulai, ngerumpi pun di mulai. Caca sari dan tari asik membicarakan sesuatu.
“Dasar muka dua! Aku benci banget dari dulu sama dia.” Omel sari yang samara-samar ku dengar. Dan aku merasa mereka sedang mengincar satu orang. Taba-tiba aku jadi meras tidak enak. Karena mereka tepat di barisan belkangku.
“Awas ya kalo sampe terbukti gua tamper mulutnya.” Kata Caca.
“udah,udah jangan ngobrol melulu.” Sahut Tari.
Apa yamg mereka bicarakan? Mengapa hatiku tidak karuan gini?
Upacara selesai tapi, caca belum selesai mengomel tidak jelas. Di kelas mereka masih asik membicarakan muka dua yang entah siapa? Caca menanyai stu per satu dari kami yang terlibat percakapan kemarin. Kecuali hayun yang tidak masuk sekolah karena dispensasi.
“ Siapa yang ngadu ke seno?” Tanya caca.
“dan jawaban kami hampir sama “ Aku enggak Ca, sumpah.”
Tiba-tiba seno masuk dan langsung menuju tempat ku duduk.
“Aku minta maaf ya kalo aku punya salah. Aku mau lomba. Aku nggak mau ada yang ngrasani aku lagi.” Kata Seno dan menyalamiku.
“Iya sama-sama kalo aku pumya slah sma kamu.” Jawabku dengan nada tulus.. heranya Seno hanya menyalami ku, tidak denga yang lain. Lalu seno pergi meninggalkan kelas dengan gaya berjalan yang sedikit feminine.
“Dasar loren, loren.” Ejek Caca. Dan semua tertawa termasuk Aku.
“Alah, di sini ikut-ikut ketawa, nanti di aduin, dasar muka dua!” Sari melirik ke arahku. Entah apa maksudnya.
“Ikh, benci aku lho.” Caca kembali menggerutu.
“Siapa si Ca? jangan-jangan aku ya?” tanya joko yang duduk di samping Caca.
“Iya kamu merasa nggak.” Tanya caca dengan nada kesal.
“iya.” Jawab joko singkat dan polos. Caca hanyamelengos mendengar jawaban Joko. Tidak mungkin Joko yang melakukannya, dia tidak terlibat percakapan kemarin.
“Bukan soal merasa atau tidaknya lho Ca, takutnya kamu salah paham sama kita orang.” Sahut ku.
“Bukan kita orang tapi, satu orang.” Jawab Caca sinis.
Lagi-lagi jam kosong. Perasaanku tidak enak, kepalaku pusing. Aku ingin tidur. Aku menyandarkan kepalaku di kursi.
“eh… liat eh setatusnya Dea.” Kata sari.
“Apa?” Tanya Nini dan Aku hampir serempak.
“Ni liyat aja.” Jawab Sari dan menunjuk layar monitor laptop yang ada di depanya.(DASAR MUKA DUA!!) status Dea di tulis dengan huruf kapital semua.
“Siapa sih?” tanyaku dalam hati yang seolah Nini tahu dan langsung menyampaikan kepada Caca.
“Ca, sebenarnya siapa sih yang di maksud muka dua itu?”
“Yang merasa aja lah Ni!” jawab caca lemas.
Nini tidak melanjutkan kepenasarannya, dia tahu benar Caca sedang kesal.
Tida ada guru sampai pelajaran TIK. Ulangan di batalkan. Pak Haidar dan Bu kori memang is the best. Seolah tahu perasaanku walau ulangan pun aku pasti remidi, tidak bisa konsentrasi.
Di lab internet, penghuni SEPADA asik dengan komputer di depan mereka masing-masing.
“Update status Akh di FB.” Gumamku dalam hati.( Pada kenapa sih hari ini? Nggak ada yang ketawa?). eits, Sari juga update ststus juga.(ada nggak ya orang yang pernah boong?) dan aku mengomentari( kayaknya enggak deh). Tiba tiba omputer mati.
“Yaaa… mati!” gerutu kami serempak dan berisik.
“Bu gimana ni Bu? Katanya ISO. Tapi, mati-mati terus.” Bejo menyolot.
“yk ke kelas yok.” Pinta Nini dan menarik tanganku.
“ya udahyok.” Jawabku malas.
“he…heh, jangan ke kelas dulu, bentar lagi hidup ko.” Kata mbak epi penjaga lab internet.
“Yok, masuk lagi.” Ajakku kepada nInidan menarik lengannya.
“Males akh, liat Loren lomba aja yok.” Ajak Nini.
“Nggak mau lah, ko kamu jadi ikut-ikutan panggilLoren sich.” Tanyaku.
Nini hanya tersenyum simpul. Aku kembali masuk ke lab internet. Ada angket pemilihan guru bahasa inggris. Aku tetap pilih Mr.Marno. semua sibuk menulis alasan mereka memilih ‘ siapa guru yang mereka mau?’ aku beralasan cukup singkat. Di kertasku tertulis ‘aku memilih Mr.Marno karena tidak pernah ada ulangan harian.’ Komputer kembali mati,membosankan.
“Ya udah la, balik kekelas aja.” Gumamku.
“Eh, titip angket ya kasihin Pak Marno.” Pinta Deka dan memberikan angket-angket itu dengan paksa kepadaku.
“Engak-engak, aku nggak mau.” Aku menolak. Deka lari meninggalkan angket di tanganku. Aku mengejarnya.
“Dekaaaaaa…. Aku nggak mau.” Teriakku di depan pintu kelas. Dan terus mengejarnya. Aku merengek-rengek. Deka merasa kasihan kepadaku dan menerima anket-angket itu lagi.
“Yok solat yok.” Ajakku kapada endah.
“Yok.” Jawab endah.
“solat apa jam segini?” tanya Puput.
“Oh .. aku pikir udah jam 12. hehe” jawabku nyantai.
“Rajinnya anak Emak ini, jam segini mau solat. Rajinnya. Mau minta ampun sama Allah ya?” sindir caca.
“Yok ke kantin.” Lanjut caca.
“Yok.” Sahut Endah.
“Yok Put, Nini, Sari, Fika, Nia, Tari.” Ajak caca tanpa menyebut namaku. Biasanya namaku ikut di sebut. “Hei marta Cees, makan nggak?” tanya Caca kepada Marta, Wayas, Erdi dan Rahayu. Yang sering di sebut marta Ce’es. Dan mereka kompak bangkit dari duduknya.
“Ndah tunggu aku.” Panggil ku. Dan endah menungguku. Aku harus makan satu meja dengan caca? Dia jlas-jlasmenuduhku yang mengadu kepada Seno,walau tidak secara langsung.
“Eh… Deka tu bayak yang suka seenarnya. Kemarin waktu O2SN( o dua es en) aku kan duduk di samping dia. Anak-anak kelas 10 ngeledek in dia gitu.”
“Emang ngeledeknya gi mana?” tanya sari yang di gosipkan dengan Deka.
“Ka deka udah punya pacar belumsih? Aku boleh nggak daftar.” Cerita Caca. Apa dia mengr tadi aku mengejar deka karena Aku suka?
“Sariawan apa lo desa?” tanya caca kepadaku.
“Enggak.” Aku menggeleng.
“Ko dari tadi diem aja?”
“nggak ada topik pembicaraan yang menarik.” Jawabku.
“Ada sebenarnya, kalokamu mau, adu in aja semuanya.” Celoteh caca sambil mengunyh nasi. Caca benar-benar menuduhku ynag mengadu kepada Seno. Aku gelisah duduk bersama mereka. Ku coba meredam kekacauandi seluruh bagian tubuhku. Teingaku panas, karena sari dan caca terus-terusan menyindirku. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan? Mereka terus mendiamkan aku.
Sehabis solat aku ingin menamui caca untuk menjelaska apa yang sebenarnya terjadi. Caca sedang asik mengobrol dengan Tari dan sari. Dengan ragu aku mendekatiereka. Aku hampir mengurungkan niatku dn membiarkan semua berjalan seperti air mengalir. Supaya kebenaran dengan sendirinya terungjap. Tapi, Aku tidak bisa tinggal diam. Aku akan keilanganteman-temanku. “Ah…. Nanti aja lah, aku masih grogi” gumaku.
Tiba-tiba kaki ku terasa ringan melangkah ke arah caca.
“Ca gue mau ngomong sama loe.” Kataki sambil menarik tangan caca.
“eh pelan dong” teriak Caca. Caca ku bawa ke belakang kelas.
“Ca tolong jelasin ke aku, siapa yang kaumaksud muka dua itu?” tanya ku.
“Elo nggak tau apa emang nggak bisa introspeksi diri?” Bentak caca dengan mata melotot.
“Enggak. Aku bener nggak ngerti kalo kamu terus menyindir aku, dan tidak menjelaskan apapun sama aku.”
“Akmu kan yang ngadu ke seno. Lewat SMA semalem?” Tanya Caca.
“Kamu nuduh au/ aku bener-bener nggak ngerti. Aku nggak dapet es m es apapun dari seno, aku juga ggak tau masalahnya, kalo kamu nggak cerita.” Aku sedikit terisak.
“Dari kejadian itu, seno jadi deket sama kamu, dan jadi musuhin kita orang.” Kata Caca.
Aku menggelengkan kepala.
“Buktinya apa?”bentak caca.
“Oke, aku bakalbuktiin ke kamu, kalo aku nggak salah.”


Hari mulai gelap segelap masalahku yang harus segeraku erangi dengan cahaya.
“Gi mana carany?” gumamku. Aku monadar- mandir di depan meja belajarku, mengotak atik Handphon ku. Aku tidak bisa memejamkan matau dengan lelap. Aku mencoba menggores tinta di atas kertas.
Tercengang aku dengan kata mereka.
Terasa menusuk.
Tidak aku mengerti.
Terperangkap aku ke dalam jurang.
Curam, tiada jalan.
Gelap, tertutup.
Sulit terungkap.
Mengapa aku di sini?
Tak pernah ku tahu jalan ini.
Membunuhkah aku?
Menghinakah aku?
Mencurikah aku?
Menyayangkah aku?
Tak kan ku biarkan gelap.
Merajahi hidupku.
Akan ku bawa lentera terang itu.
Pasti.

Tiba-tiba handphone ku getar. Ada pesan dari Seno.
‘ tenang aja, masalahmu bisa teratasi. Bukan kamu yang salah. Maaf telah mengusikmu’
Cepat-cepat ku balas ‘makasih ya Sen, kamu udah belain aku.’
Tidak lama setelah aku membanting handphonku, bergetar kembali. Ada balasan dari seno. ‘ya jangan di pikirin ya. Aku yang bakalan buktiin sama mereka.’
Sekarang aku bisa tidur lelap.

Di mana kejelasan itu?
Siapa sebenarnya yang salah,?
Sampainya aku di kelas, semuanya terasa mengherankan bagiku. Caca tersenyum kepadaku, tari meyapaku, seno trtawa geli kepadaku. Aku bingung dengan apa yang mereka lakukan. Mungkin Seno telah menjelaskan kepda mereka.dan mungkin gelap itu sudah terang tapi, siapa sebenarnya yang berslah. Hari-harku teras lebih tenang dan aneh.
Walu,aku tak tau ap sebenarnya terjadi. Ku akui kami IPA tidak pernah lepas dari kecurigaan, sindiran, kegokilan, ejekkan, egois, fitnah, dan membicarakan teman sendiri di belakang. Dan sebenarnya itulah yang membuat kelas ini terasa asik. Walau, kebencian itu selalu ada tapi, aku yakin magenta cinta selalu menyelimuti kami panghuni SEPADA yang kini sudah berubah menjadi ‘ROSIDA’ singkatan dari Rolas IPA Dua


Inilah CERITA “ cinta, ediot, reseh, indah, tempat, asik” penghuni SEPASA “sebeas IPA dua.

SEKIAN.

Cerpen Asli punya GUe>>>


Teguran Semalam
 By:Desna Amalia Astuti

Baru kali ini aku bertengkar dengan Ibu. Hanya karena ibuku tidak setuju Aku mengikuti penelitian di sebuah rumah sakit kusus penderita HIV/AIDS.
     “Ibu tidak setuju kamu mengikuti penelitian di rumah sakit itu.”
“Tapi bu,ini masa depanku.” kataku.
“Sekali tidak tetap tidak.” Ibuku nyolot seakan tidak memperhatikan perasaanku.
“Apa alasannya bu?” sedikit memelas.
“Kau ini anak pembangkang ibu tidak mau mengurusmu lagi, pergi jika kau mau pergi.Jangan pernah meminta bantuan ibu jika kau tertular HIV!” Jawab ibuku.
“Ibu jahat!” teriakku,langsung berlari menuju kamar.
“Silahkan cari ibu yang lebih baik dari ibu.” Bentak  ibuku dari luar kamar.
Dunia seakan memusuhiku saat ibu bilang itu padaku. Aku tidak tahu lagi siapa ibu yang lebih baik lagi dari pada Beliau.
Aku tidak menyangka Ibuku setega itu padaku. Ibu tidak pernah semarah ini padaku. Dia tidak seperti ibuku. Dia mirip ibu tiri temanku. Aku menginginkan menjadi salah satu personil penelitian itu. Mengapa ibuku tidak tahu perasaan ku? Dia tidak mendukung cita-citaku menjadi seorang dokter.
Aku tetap mengikuti penelitian itu walaupun tidak di setujui oleh Ibuku. Aku sedikit menyesal telah melawan orang tuaku. Sebelumnya aku selalu menuruti kata Ibu.
Dalam sebuah ruangan di rumah sakit, seorang wanita terbaring lemah di salah satu ranjang. Tampak penyesalan begitu mendalam dalam sorot matanya. Tubuhnya hampir membusuk, hingga lalat-lalat kecil dengan senang hati mengerubunginya. Tidak ada satupun keluarga yang menemaninya,”Atau mungkin dia tidak memeiliki keluarga?”Gumamku dalam hati.
Banyak pasien di dalam bilik kamar itu, namun wanita itu tampak begitu berbeda. Karena tubuh yang hampir membusuk itu. Aku ingin mendekatinya,namun rasa jijik merasuk dalam diriku. Aku mengurungkan niatku. Ku lihat jam dinding menunjukkan pukul 5 sore. Aku harus pulang.
Di koridor rumah sakit Aku berjalan dan terus berusaha menghapus bayangan wanita itu dari mataku tapi, bayangan itu memenuhi mataku dan sekarang sudah memenuhi kepalaku, terus menjalar ke perutku. Perutku mual! Aku ingin muntah! Aku berlari sekuatku menuju toilet.
“Huek…..Sorrrr”,hampir semua makanan di dalam perutku keluar lewat mulutku. Aku segera pulang, tubuhku lemas, ingin istirahat.
                                  ……
Ibu ku masih tetap diam padaku. Aku ingin meminta maaf tapi, ibu sedang makan. Aku takut mengacaukan selera makanya. Aku tidak kuasa menelan makanan yang di sediakan ibuku. Rasa mual itu kembali datang dalam perutku. Ku tahan rasa mual ini agar ayahku tidak marah saat Aku tidak sopan di depanya yang sedang asik melahap makanan yang enak, tetapi menjadi tidak enak saat Aku mengingat wanita itu.
“Apa kamu tetap mau ikut penelitian itu des?” Tanya Ibu dengan nada sinis. Aku belum sempat menjawab. “Pokoknya ibu nggak mau kasih ijin sama kamu. Titik!”
Aku melotot mendengar kata ibu. Sebelum makan malam selesai aku kembali ke kamar, kepalaku pusing di putar-putar oleh bayangan wanita itu.
Aku mencoba membuang omelan ibuku dan bayangan wanita itu. Aku terlelap dalam deritaku.
….
Aku melihat wanita itu di dalam sebuah kamar rumah sakit. Sendiri. Tanpa ada pasien lain dan juga keluarganya. Aku memberanikan diri mendekatinya. Tapi kembali rasa jijik itu datang kepadaku, tapi tidak sehebat kemarin. Kali ini Aku memberanikan diri untuk mendekatinya. Aku sadar, jika aku yang berada di posisinya. Tanpa teman,saudara,sahabat. Apa yang akan ku lakukan? Mungkin Aku akan menangis, atau jika bisa memilih Aku akan memilih cepat mati dari pada hidup lemah, tidak berdaya, menanggung dosa. Mengingat itu semua Aku menghilangkan semua rasa jijik.
Dia tersenyum di balik wajah menjijikkan penuh nanah-nanah, melihat aku mendekatinya. Aku kira dia senang melihat ku datang. Aku membalas senyumnya. Aku duduk di samping ranjangnya. Aku diam membungkam mulut serapat mungkin seolah-olah takut lalat masuk ke dalam mulutku dan hanya memandangi seluruh tubuhnya yang tidak layak untuk hidup lagi. Aku menyembunyikan rasa jijik yang menjalar di tubuhku.
Tubuhnya kaku, hanya mata dan bibirnya yang dipaksakan untuk bicara.
“Apa kamu tidak jijik melihat ini?” Tanya wanita itu.
“Tidak!”,aku menjawab singkat dan berbohong.
“Mengapa?”
“Aku ingin menemanimu, Aku tahu kau di sini sendiri.”
“Aku tidak sendiri.”
Aku terkejut. Ku pikir dia di jauhi oleh saudara,teman dan yang lain.
“Mengapa Aku tidak pernah melihat saudaramu?” Tanyaku.
“Kau tidak melihatnya?” Tanya wanita itu. ”Mereka sangat banyak di sini. Banyak lalat-lalat kecil yang menemaniku setiap hari, bahkan saat aku tidur mereka tidak terlelap.”
Ternyata dugaan ku benar. Dia hanya di temani lalat-lalat kecil. Aku hanya diam dan malu pada diriku sendiri. Setiap hari aku memiliki banyak teman, tapi aku sering menyakiti hati mereka, walaupun terkadang aku tidak sengaja.
“Kau tahu?” Tanya wanita itu.
“Apa?” Aku kembali bertanya.
“Aku menyesal dulu pernah membunuh lalat kecil yang hinggap di makananku, padahal aku masih punya banyak uang untuk membeli makanan. Sekarang saat semua meninggalkan aku. Lalatlah yang menemaniku.” Lanjutnya.
“Yah, terkadang sesuatu yang kita anggap musuh dan sangat kita benci suatu saat menjadi teman yang baik. Dan sebaliknya, teman yang baik suatu saat akan menjadi musuh yang sangat jahat.” Kataku sok bijak. ”Apa kau dulu orang kaya?” Tanyaku.
“Ya,kaya. Sampai aku bebas menuruti hawa nafsu dunia. Dunia yang sekarang tidak memihak padaku.” Jawabnya memaksa bibirnya untuk memberi kenyamanan untukku agar aku lebih lama menemaninya dan bicara padanya.
Rambutnya masih indah, hitam, dan lebat menempel pada batok kepalanya. Mungkin jika dia sehat akan terlihat sangat cantik, postur tubuhnya juga tinggia, dan ku lihat di papan identitas dia berumur 37 tahun.
Aku ingin lebih tahu apa yang menjadi penyebab sampai dia menjadi seperti ini.
“Apa yang kau lakukan sebelum kau berada di tempat ini?” Tanyaku.
“Banyak yang ku lakukan. Tapi ini bukan sepenuhnya salahku.” Jawabnya sambil tersendat-sendat.
“Maksudmu?” Tanyaku lagi.
“Kau mau aku bercerita tentang hidupku? Jika kau mau aku akan menceritakanya pada mu, agar kau tidak mengikuti jejakku.”
Aku hanya menganggukkan kepala dan ingin meyakinkan hatiku bahwa aku mau mendengarnya.
“Dulu aku adalah seorang anak perempuan tunggal dari keluarga yang cukup mampu. Setelah ayahku meninggal Ibuku menikah dengan seorang lelaki brengsek yang membunuh ayahku sebelum Ibuku tau Dialah yang membunuh ayahku.” Dia melihat mataku dan seolah bertanya apakah aku mengerti? Dan aku mengangguk.
“Lalu?” Tanyaku.
“Lalu….” Dia melayangkan pandangan ke atap plafon dan melanjutkan. ”Awalnya akupun tidak tahu bahwa dia yang membunuh ayah kandungku. Sikapnya baik dan sayang kepada ibu dan aku. Tapi,suatu malam saat ibu sedang pergi ke kantor untuk meeting,ayah tiriku berhasil merebut kesucianku. Aku berusaha menyembunyikannya dari ibu tapi, aku tidak tahan terus menyembunyikan semua ini dari ibuku. Akhirnya aku memutuskan untuk kabur dari rumah setelah aku menuliskan surat untuk ibuku. Aku menceritakan semua yag terjadi, termasuk aku memberi tahu ibuku bahwa yang membunuh ayah kandungku adalah ayah tiriku.” Aku terus mendengarkan dan membayangkan apa yang di ceritakanya. Mengganti ayahnya dengan ayahku, ibunya dengan ibuku, dan orang lain entah siapa menjadi ayah tirinya. Wanita itu berhenti sejenak untuk menarik napas panjang-panjang.
“Tapi….” Kata wanita itu, tiba-tiba menangis.
“Tapi apa? Maafkan aku, karena telah membuatmu menangis, dan mengingat masalalumu.” Aku  meminta maaf merasa bersalah.
“Tidak, aku hanya menyesal telah membuat ibuku pergi untuk selamanya menyusul ayahku. Ibuku bertengkar dengan ayah tiriku dan dia meninggal tertusuk pisau oleh ayah tiriku.” Lanjutnya
Aku masih sangat beruntung. Ayah dan ibuku sangat menyayangiku tapi, aku tidak pernah membalas kebaikan mereka. Aku belum sempat membalas kebaikan mereka. Tidak terasa aku meneteskan air mataku.
“Apa yang kamu lakukan di rumah sakit ini?” Tanya wanita itu.
“Aku dan teman-temanku mengadakan penelitian di rumah sakit ini.” Jawabku. “Di mana ayah tirimu sekarang?” Tanyaku lagi.
“Ayah tiriku di penjara setelah satu tahun menjadi buronan.” Wanita itu menyedot ingusnya dan kembali menarik napasnya. Aku ingin mengusap air matanya, tapi Aku tidak berani. Aku takut tertular.
“Apa hubunganya dengan semua ini? Tanyaku penasaran.
“Aku di lamar oleh seorang laki-laki yang sangat ku cintai.” Dia melanjutkan tanpa menjawab pertanyaanku. ”Hanya dia satu-satunya laki-laki yang ku cintai.” Wanita itu tersenyum bahagia, mungkin mengingat wajah yang di cintainya.
“Tapi,saat itu”lanjutnya.”Aku berumur 19 tahun, dan mengandung anak dari ayah tiriku. Suamiku murka saat mengetahui janin yang aku kandung bukanlah anaknya. Aku di paksa untuk menggugurkan kandunganku tapi, Aku menolak. Lalu saat kelahiranya, Aku bersembunyi di rumah tetanggaku yang jauh dari rumahku. Dan menyerahkan bayiku kepada tetanggaku. Sekarang mungkin dia seumuranmu. ”Wanita itu terus bercerita walau dengan suara yang lirih dan tersendat-sendat. Aku tidak tahu, mengapa dia sangat ingin aku mendengarkan cerita hidupnya, dan memaksa lidahnya untuk terus berbicara. Aku hanya diam menikmati ceritanya dan mengilustrasikan dalam otakku.
“Setiap hari aku di siksa dan di aniyaya oleh suamiku yang sangat ku cintai, dan suamiku selingkuh.” Kata wanita itu.
Aku terjaga dari tidurku. Sebentar. Lalu melanjutkan tidurku.
Aku kembali masuk dan mendekati wanita itu. Aku ingin mendengar semua ceritanya. Aku kembali duduk di dekatnya. Rupanya dia menungguku kembali.
“Apa lanjutan ceritamu?” Tanyaku.
“Aku tidak tahan dengan siksaan suamiku akhirnya,aku memutuskan untuk pergi meninggalkan suamiku dan mencari anakku.” Lanjutnya.
“Kau menemukan anakmu?Dimana dia sekarang?” Tanyaku.
“Tidak,bahkan aku melupakannya.Aku lelah hidup tersiksa oleh laki-laki. Aku membenci semua laki-laki,ku lampiaskan semua kepada wanita. Karena aku merasa di dunia ini hanya aku wanita yang tersiksa, aku ingin membuat semua wanita merasakan apa yang aku rasakan. Aku menjadi seorang lesbian yang bergonta-ganti pasangan. Aku lelah hidup dengan pria. Pria yang membuat hidupku sengsara. Ayah kandungku tega meninggalkan aku dan ibu, ayah tiriku, dan suamiku. Sekarang aku lemah tak berdaya, aku menderita penyakit mematikan karena perbuatanku sendiri.” Dia terus melanjutkan ceritanya.
“Apa sekarang kau tau di mana anakmu dan apakah kau merindukanya?” Tanyaku.
“Aku sangat merindukanya. Aku ingin memeluknya tapi, jika dia mau aku peluk.” Jawabnya. ”Terakhir aku dengar dia di kota ini. Aku ingat dia memiliki tanda lahir di pundak sebelah kanan. Seperti tahi lalat yang besar.”
Tanda lahir di pundak kanan?
Seperti tahi lalat besar?
Pertanyaan yang mencengangkan. Mengagetkan. Aku tidak percaya. Tapi, ini hanya mimpi.
Dan Aku terbangun dari tidurku.
Aku terkejut, petir menggelegar di telingaku dan aku langsung berlari ke kamar mandi. Tidak perduli aku telah menabrak vas bunga di meja belajarku. Di depan kaca kamar mandi aku terus memikirkan apa yang di katakan wanita itu dan terus memperhatikan tanda yang bersarang di pundak kananku .”Aku tidak mau mengakuinya!” Kataku menjerit.
“Apa benar selama ini Aku di besarkan bukan oleh ayah dan ibu kandungku? Wanita itu ibu kandungku? Tapi,Aku tidak mau mengakuinya. Aku bukan anak seorang lesbi dan penderita Ha I Ve .”jeritku membangunkan semua yang terlelap di tengah malam.
“Desi… buka pintu!” Kata ibuku di luar kamarku.
Aku terkejut. Aku berlari menuju ibuku dan memeluknya.Aku tidak ingin kehilangan ibuku.Ku rasaka hangatnya pelukan seorang ibu. Kehangatan yang di berikan benar-benar meyakinkan aku bahwa ini adalah ibuku. Aku berjanji tidak kan menyakiti ibuku.
“Apa yang kau katakana barusan?” Tanya ibuku.
Aku menceritakan semua yang ku impikan kepada ibuku.
“Ibu minta maaf. Ibu kasar denganmu kemarin. Tapi, sungguh aku adalah ibu kandungmu.” Kata ibuku. Aku yakin, Ibu yang ku peluk ini adalah ibu ku. Setengah sadar aku mengakui kesalahanku. Aku mengaku telah sembunyi-sembunyi mengikuti penelitian itu.
Pagi hari
Aku sudah bersiap-siap untuk pergi ke rumah sakit itu lagi. memulai penelitianku dan sembari melihat wanita itu.
Saat Aku memasuki kamar itu. Wanita itu tidak ada di tempat tidurnya. Aku melayangkan pandanganku di sekitar kamar. Aku tidak menemukanya.
“Siapa yang kau cari?” Tanya salah seorang perawat.
  “Wanita itu?” Jawabku sambil menunjuk ke arah ranjang yang dulu di tempati wanita itu.
“Dia sudah tiada.” Jawabnya.
Begitu cepatnya dia pergi.....


created by : DESNA Amalia ASTUTI